Teater, mungkin sudah menjadi semacam isme, hingga banyak kalangan
merasa perlu mengabadikannya menjadi sebentuk institusi. Meski tidak profit
orIented, akhirnya terbentuk juga cekungan emas pada bejana itu. tak urung,
beribu niatan datang, berlomba untuk mengisinya menjadi tujuan atau
kepentingan. Nah, intersubjektifitasnya niatan ini, kayaknya dapat menyuburkan
isme dalam teater.
Lalu, entah apa yang menjadikan peradaban dunia menjadi seperti ini. Peradaban yang
hanya dimonopoli oleh satu garis satu warna, kapitalisme global. Yang pasti ia
bukan “angin segar”, tetapi semacam “daun ganja” yang siap meracuni bagi siapa
saja yang menghirupnya. Sebenarnya ngomong counter discourse, counter
hegemoni atau counter culture. Tetapi tidak dipungkiri, makhluk
itulah yang menjadi modus resistensi di masyarakat.
Read more
Post a Comment